Langsung ke konten utama
Sikap Hati-hati (Wara’)
Hammad bin Zaid berkisah :
“Ketika aku bersama Ayahku, aku mengambil secuil pecahan bata dari tembok.
Ayahku menegurku: “Kenapa kamu ambil?”
Aku menjawab, “Ini hanya secuil tembok”
Ayahku berkata:
“Jika setiap orang mengambil secuil demi secuil, apakah akan tersisa tembok pada dinding ini..”
Ini hanya satu kisah sikap wara’ (kehati-hatian) seorang Salafus Soleh (orang-orang soleh terdahulu, yang hidup di zaman Rasulullah Shalallah ‘Alaihi Wasalam dan beberapa generasi sesudah wafatnya beliau). Perjalanan hidup mereka dipenuhi semerbak tetesan wewangian dalam gambaran menarik pada kewara’an dan jauhnya mereka dari perkara samar (yang kurang jelas hukumnya).
Marilah lebih jauh kita selami berbagai kisah sikap wara’ pada salafus solihin lainnya.
Sungguh, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam merupakan penghulu dari orang-orang wara’ dan merupakan suri teladan umat, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik..” (QS.al-Ahzab: 21)
Apa Yang Dimaksud Dengan Wara’ ?
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda :
“Sesungguhnya perkara yang halal dan haram itu jelas. Antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya) yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjaga diri dari perkara-perkara syubhat maka sungguh dia telah berhati-hati dengan agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjatuh dalam perkara syubhat maka hal itu akan menyeretnya terjatuh dalam perkara haram, seperti halnya seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan, hampir saja dia terseret untuk menggembalakannya dalam daerah larangan. Ketahuilah bahwa setiap penguasa memiliki daerah larangan dan sesungguhnya daerah larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam jasad seseorang ada sekerat daging, jika sekerat daging itu baik maka baik pulalah seluruh jasadnya. Namun jika sekerat daging itu rusak, maka rusak pulalah seluruh jasadnya, ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.” (HR. Al-Bukhari, no. 52, 2051 dan Muslim no. 1599 dari An-Nu’man bin Basyir radiyallahu anhu)
Sikap wara’, yaitu berhati-hati dari sesuatu yang dikhawatirkan akan memudaratkan agama dan akhirat, adalah sikap yang terpuji dan dituntut dari seorang muslim. Seorang muslim yang tidak memiliki wara’ akan bermudah-mudahan dengan perkara syubhat yang tidak jelas kehalalan dan keharamannya, sehingga menyeretnya bermudah-mudahan dengan perkara haram, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam dalam hadits An-Nu’man bin Basyir c di atas. Namun seperti kata Al-Imam Al-’Allamah Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ dalam Kitabul Bai’, Babul Ijarah: “Wajib atas setiap muslim untuk melihat setiap perkara dengan timbangan syariat dan akal yang sehat. Bukan dengan timbangan perasaan yang buta (yang merupakan permainan hawa nafsu). Karena hal inilah yang memudaratkan kaum muslimin sejak zaman para sahabat.” (2)
Wara’ bermakna juga menjaga diri yaitu menahan diri dari hal-hal yang tidak selayaknya (Ibnu Faris)
Wara’ artinya merasa risih (jawa=pekewuh), orang yang khawatir lagi melindungi diri serta merasa risih, menahan diri dari yang diharamkan dan merasa risih dengannya. Menahan diri walaupun mubah (yang dibolehkan) dan halal (Ibu Manzhur)
Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara samar (yang kurang jelas). Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu adalah meninggalkan hal yang berlebihan. Wara berarti keluar dari syahwat (hawa nafsu) dan meninggalkan kejelekan-kejelekan. (Ibrohim bin Adham)
Wara’ maknanya menahan diri dari apa-apa yang akan memudaratkan, termasuk di dalamnya perkara-perkara haram dan samar, karena semuanya itu dapat memudaratkan. Sungguh siapa yang menghindari perkara samar telah menyelamatkan kehormatan dan agamanya. Siapa yang terjerumus pada perkara samar, terjerumus dalam perkara haram, sebagaimana pengembala yang menggembala di sekitar pagar, tidak ayal akan mudah tergoda untuk masuk kedalamnya. (Ibnu Taimiyah –semoga Allah merahmatinya)
Orang yang wara’ adalah orang yang jika mendapati perkara samar (yang kurang jelas), segera meninggalkannya, sekalipun dari sisi hukum keharamannya masih diperselisihkan. Sedangkan jika samar dalam wajibnya suatu perkara, segera dia mengerjakannya karena khawatir berdosa jika meninggalkannya. (Syaikh Muhammad bin Soleh al-Utsaimin -semoga Allah merahmatinya- )
Komentar